Senin, 13 Desember 2010

Transformasi Agama dan Budaya di Tengah-tengah Kekerasan Sosial

LINTAS – Jurnal Forum Dialog (FORLOG) Antarkita Sulawesi Selatan – Edisi 1, Maret 2003

"Transformasi Agama dan Budaya di Tengah-tengah Kekerasan Sosial

Mentransformasikan Budaya

oleh: Corrie van der Veen

Pendahuluan
Apa yang kita maksudkan ketika berbicara tentang budaya? Pertanyaan ini praktis melahirkan bermacam-macam kemungkinan. Kita dapat menyoroti ‘budaya nasional’, termasuk bahasa nasional, pemerintahan, rencana pengembangan, dsb.  Pada saat yang sama, kita juga dapat mengkaji ‘budaya lokal’, baik budaya sebagai satu kesatuan yang utuh, maupun budaya sebagai sesuatu yang telah bercampur dengan budaya-budaya lain (‘sinkretisme kultural’). Namun demikian, Budaya itu sesungguhnya supralokal.
Selain itu kedua pendekatan di atas, kita juga bias menggunakan pendekatan lain dalam membicarakan budaya. Pendekatan ini kerap digunakan oleh kalagan ahli antropologi budaya yang menfokuskan kajiannya pada warga negara multikultural (multicultural citizen1). Jadi, bukan budaya yang dijadikan sebagai  obyek utama dari pengamatan, akan tetapi manusia. Menurut kalangan ini seorang dengan back-ground multikultural tidak berinteraksi dengan satu sistem budaya saja, tetapi dengan bebe-rapa sistem budaya, seperti budaya etnis (adat istiadat), budaya pop, budaya nasional, budaya agama sedunia dan budaya kosmopolitan. Dan untuk mengkai tulisan ini, saya memanfaatkan pendekatan multikcultural citizen ini.
Tulisan ini terdiri dari dua bagian. Dalam bagian yang pertama saya membahas interaksi antara individu dengan budaya. Bahwa, interaksi itu bersifat dinamis karena kita tidak hanya dipengaruhi oleh struktur-struktur budaya tetapi, pada gilirannya, kita juga yang akan memainkan peran sebagai ‘agen perubahan’ yang mem-pengaruhi budaya. Dalam bagian kedua saya memanfaatkan ilmu pengetahuan kognitif untuk menggali peranan kita sebagai ‘agen peruba-han’. Menurut saya studi-studi kognitif sejauh ini memperlihatkan beberapa halangan dan ke-mungkinan dalam proses pengubahan budaya.
Bagian I :
Interaksi individu dan budaya

1. Budaya berubah-ubah
Kalau kita membahas ‘budaya lokal’, maka ada kecenderungan untuk menganggap budaya lokal sebagai budaya sesuatu yang terpisah dari budaya-budaya lain. Padahal, disadari bahwa tidak ada satupun budaya yang berdiri sendiri, setiap budaya sejak dulu selalu dipengaruhi oleh budaya lain. Oleh karena itu, apa yang disebut dengan proses globalisasi bukan lagi sebuah proses yang baru. Proses itu sudah berlangsung lama. Nusantara dipengaruhi oleh India, Cina, Arab, Eropa, Amerika dan bahkan suku bangsa masing-masing terus menerus saling mempengaruhi.
Budaya tidak bersifat statis dan homogen. Tidak ada budaya yang ‘murni’ atau ‘esensial’2. Dalam bahasa sehari-hari kita berbicara tentang ‘budaya Bugis’, tetapi apa itu budaya Bugis? Seorang Bugis dapat memiliki nilai dan norma dari adat Bugis, tetapi dia juga dipengaruhi oleh budaya-budaya lain, misalnya karena dia pernah mengikuti pendidikan di tempat lain, bekerja didalam perusahaan transnasional, beragama Islam, dsb. Pada gilirannya seorang Bugis itu mempengaruhi budaya Bugis, yaitu budaya Bugis diubah oleh penduduk-penduduknya.

2. Budaya dan manusia: hubungan timbal balik
Sekali lagi, manusia ditentukan oleh budaya-budaya dan budaya juga ditentukan oleh manusia. Budaya dan manusia dikonstruksi melalui proses yang sering disebut ‘praksis’3. Konsep praksis menekankan adanya hubungan timbal balik antara si pelaku aktif dengan kebudayaan sebagai struktur obyektif. Proses itu juga bisa dijelaskan dengan tiga prinsip yang dikemukakan oleh Berger dan Luckmann4:
a.   kebudayaan dibentuk oleh manusia;
b.   manusia dibentuk oleh kebudayaan;
c.   kebudayaan menjalani hidup sendiri.
Budaya memerlukan manusia sebagai aktor untuk diproduksikan dan direproduksikan melalui proses pemberian makna terhadap kehidupannya. Manusia tidak hanya dikondisikan oleh budaya-budaya, baik secara sadar atau tidak sadar, tetapi manusia juga dapat mempengaruhi budaya. Manusia bisa mengubah dan menambahkan nilai dan norma (memproduksikan, lihat prinsip yang pertama). Misalnya, para feminis memberikan makna yang baru kepada teologi. Sekaligus, manusia juga mampu melakukan internalisasi dan sosialisi nilai dan norma (mereproduksikan, prinsip yang kedua). Misalnya mahasiswa melakukan internalisasi dan sosialisasi tehadap teologi yang diajarkan di universitas. Tetapi, juga ada struktur obyektif yang menjalani hidup sendiri (prinsip yang ketiga). Pranata seperti ‘kehormatan’ dan ‘patriarkat’ adalah contoh dari struktur obyektif.
Aspek-aspek budaya bisa menjadi ‘kental’ dan sulit untuk diubah. Itu baik karena kita perlu kontinuitas dalam masyarakat, tetapi itu juga tidak baik, misalnya kalau kita mau mengubah aspek-aspek budaya yang bermasalah (contohnya KKN). Dengan demikian, kalau kita hendak merubah atau ‘mentransformasikan’ budaya, maka kita harus mempertimbangkan tiga prinsip tersebut: manusia mampu untuk memproduksikan dan mereproduksikan secara aktif, tetapi manusia juga menhadapi struktur-struktur kental yang tidak dapat diubah dengan mudah.      

3. Budaya dan pembentukan kekuasaan
Tidak bias disangkal, bahwa seorang ahli antropologi budaya terkenal, juga di Indonesia, Clifford Geertz, sangat mempengaruhi pemikiran banyak orang tentang budaya. Geertz menggambarkan bagaimana simbol-simbol mempengaruhi dan membentuk kehidupan sosial. Hanya saja, Geertz tidak memberikan banyak perhatian pada proses sebaliknya, yaitu bagaimana realitas sosial dan si pelaku dalam realitas itu mempengaruhi dan membentuk simbol-simbol. Dengan kata lain, Geertz kurang memperhatikan prinsip pertama yang dikemukakan Berger dan Luckmann dan kurang memperhatikan budaya sebagai kenyataan dinamis.
Menurut Asad, salah seorang pengeritik Geertz, mengatakan: ‘kelemahan utama pendekatan Geertz disebabkan oleh definisinya tentang kebudayaan sebagai sesuatu totalitas arti yang bersifat a priori (seolah-olah diterima ‘jadi’ dari generasi sebelumnya), yang sama sekali dipisahkan dari proses pembentukan kekuasaan dan efek-efeknya’5. Apa sesunggguhnya yang dimaksudkan Asad dengan ‘pembentukan kekuasaan dan efek-efeknya’? Menurut saya, itu berarti bahwa kita bukan hanya memperhatikan pertanyaan ala Geertz: ‘Orang setempat memberikan makna apa?’, tetapi juga pertanyaan ‘Mengapa orang tertentu memberikan makna seperti itu?’ Kelihatnya proses pemberian makna tidak terlepas dari dinamika kekuasaan dalam realitas sosial. Kita sebagai pemberi makna dipengaruhi oleh apa yang terjadi di masyarakat.
Satu pertanyaan sebagai contoh: ‘Orang Makassar memberikan makna apa kepada McDonald’s dan KFC?’ Ada orang yang menganggap restoran itu sebagai restoran modern, maju dan enak. Banyak orang tua suka untuk merayakan hari ulang tahun anaknya di McDonald’s. Tetapi juga ada orang yang menganggap McDonald’s sebagai simbol dunia Barat. Dunia Barat adalah kapitalistis dan musuh dunia Arab, umat Islam, dsb. Khususnya sesudah aksi terroris pada tanggal 11 September 2001 dan penyerangan Afganistan makna McDonald’s sebagai simbol Amerika diartikulasikan. Beberapa orang yang pernah menikmati McDonald’s tidak lagi suka dengan restoran itu karena wacana ketika itu. Jadi, pada waktu itu makna yang diberikan oleh orang Makassar kepada McDonald’s dan KFC berhubungan dengan apa yang terjadi di level internasional. Wacana baru merupakan kekuasaan yang mempunyai efek terhadap perilaku nyata orang Makassar (sampai meledakkan bom di KFC). Itu berarti, ‘makna’ atau pemberian makna selalu berhubungan dengan ‘realitas sosial’ dan ‘kekuasaan’. Dan, makna dapat berubah kalau realitas sosial dan hubungan kekuasaan berubah. Makna bukan hanya sesuatu yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya atau dari Tuhan, tetapi makna juga dipengaruhi dan dibentuk oleh manusia secara aktif dalam konteks sosial yang penuh dengan kekuasaan. 

4. Budaya dan kepentingan pendidikan
Asad, yang dikutip di atas, mengatakan bahwa kebudayaan tidak bisa dipisahkan dari proses pembentukan kekuasaan. Si pelaku memiliki kekuasaan dan kepentingan6, dan dia akan memberikan makna dan bertindak secara strategis dalam praksis. Pada saat yang bersamaan ada kekuasaan diluar kemampuan si individu, misalnya kekuasaan politik, militer dan ekonomis di level nasional dan internasional.
Sebagai contoh dari hubungan antara makna, kekuasaan dan kepentingan mari kita mengkaji pertanyaan-pertanyaan berikut: ‘Apakah makna ‘isteri’?’, ‘Mengapa si isteri diberikan makna itu?’ dan ‘Apakah arti itu bisa diubah?’ Katakanlah, baik laki-laki maupun perempuan berpendapat bahwa si isteri selalu harus taat pada suaminya. Kalau si isteri taat pada suaminya, maka dia adalah ‘isteri yang baik’. Norma itu dari mana? Apakah norma itu langsung dari yang ilahi (Tuhan) atau berkaitan dengan kekuasaan dan kepentingan manusia (laki-laki)? Memang ada kepentingan dari laki-laki untuk mendominasi perempuan. Selain itu, laki-laki (masih) berkuasa untuk mempengaruhi pemikiran perempuan sehingga mereka sendiri setuju dengan pendapat seperti itu.
Jika kita berkeinginan untuk merubah aspek budaya ini, maka yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana cara untuk merubahnya? Menurut hemat saya dengan mengurangi kesenjangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Pandangan ini dapat diusahakan melalui pendidikan yang baik dan benar bagi perempuan. Betapa tidak, fakta membuktikan bahwa ada ketidakadilan dalam proses pendidikan. Proses pendidikan lebih memberi prioritas pada laki-laki. Oleh sebab itu, pendidikan bagi laki-laki dan perempuan harus setingkat, sehingga ‘posisi tawar’ perempuan menjadi lebih kuat. Mereka mampu untuk menganalisis dan berargumen sendiri (dari perspektif feminis) dan mereka lebih mampu untuk mengubah dan mentransformasikan budaya.
Mestinya dalam proses transformasi bukan hanya hubungan kekuasaan yang berubah tetapi juga inti kepentingan-kepentingan. Misalnya kepentingan si suami tidak lagi untuk menguasai isterinya tetapi untuk mempunyai isteri sebagai mitra sejajar. Itu transformasi yang sungguh-sungguh yang berdasarkan pada pembagian kekuasaan yang lebih adil.  
Pendidikan dan pemberdayaan bagi semua orang penting dalam proses transformasi, supaya lebih banyak orang (orang perempuan, orang miskin, orang yang tidak berkuasa, dsb.) mempunyai akses pada kekuasaan dan proses pemberian makna untuk memperbaiki dan mendorong kesejahteraan umum. Proses transformasi adalah proses demokratis.
Tetapi proses pemberdayaan dan pendidikan tidak dapat diwujudkan dengan gampang. Selain kepentingan-kepentingan pribadi sebagai halangan, kita juga menghadapi budaya supralokal yang menghalangi proses pemberdayaan dan pendidikan (krismon, spiral kekerasan, dsb.). Proses pembentukan dan transformasi kebudayaan adalah proses rumit. Kita tidak terlalu bebas sebagai ‘agen perubahan’. Ada halangan-halangan individual dan halangan-halangan diluar kita. Hal itu juga digarisbawahi oleh ilmu pengetahuan kognitif. Dalam bagian yang berikut saya ingin memanfaatkan beberapa pikiran dari studi-studi kognitif untuk menggali ulang proses transformasi budaya. 

Bagian II:
Halangan dan kemungkinan dalam proses transformasi budaya dari perspektif kognitif7
 1. Nilai-nilai dan norma-norma yang terbentur: kita sering kali inkonsisten
Sudah jelas bahwa kita tidak menjadi bagian dari salah satu sistem budaya saja, tetapi kita merupakan bagian dari beberapa sistem budaya: kita adalah seorang multikultural. Kadang-kadang bermacam-macam sistem budaya itu bersinggungan dan menimbulkan ketegangan. Contoh: pada hari Sabtu saya mengikuti kegiatan-kegiatan NGO yang bertujuan untuk menegakkan masyarakat yang lebih demokratis dan setara. Pada hari Minggu saya mengikuti kebaktian di gereja untuk mendengarkan khotbah tentang kesejahteraan yang terkait dengan akhirat. Pada hari Senin saya menghadiri upacara penguburan di mana status sosial yang tinggi dari keluarga saya ditekankan pada jumlah kerbau dan babi. Dengan kata lain, selama tiga hari saya itu terlibat dalam tiga sistem budaya, dengan norma dan nilai yang terbentur. Saya memperjuangkan keadilan sosial (hari Sabtu) dan pada waktu yang sama saya mengabaikan sikap aktif karena menantikan kesejahteraan secara pasif (hari Minggu) atau menekankan ketidaksetaraan sosial (hari Senin). Itu berarti bahwa saya tidak terlalu konsisten. Itu juga tidak berarti bahwa saya harus membuang dua sistem budaya begitu saja untuk berpegang pada satu sistem budaya saja (karena ketiga sistem budaya itu berhubungan dengan jati diri saya). Artinya, saya harus menyadari secara mendalam bahwa saya memanfaatkan beberapa sistem budaya pada waktu yang sama.
Dalam konteks demikian, untuk mentransformasikan budaya ke arah tertentu kita sebaiknya mempertimbangkan nilai dan norma secara sadar dan teguh. Nilai dan norma itu memang bisa diambil dari beberapa sistem budaya. Bahkan nilai dan norma – menurut saya —  mestinya diambil dari beberapa sistem budaya, karena kita hidup dalam masyarakat pluralistis, bukan monolitis.

2. Keterkaitan proses pemberian makna dan emosi
Apa yang juga dijelaskan dalam bidang studi-studi kognitif adalah bahwa makna yang berkaitan dengan emosi mendalam tidak bisa diubah dengan mudah. Manusia yang pernah menghadapi emosi negatif yang mendalam, seperti kekerasan atau penghinaan, tidak bisa meninggalkan emosi itu secara cepat. Sama dengan makna yang bersangkutan. Mungkin orang itu bisa dibantu secara non-verbal, misalnya dengan upacara tertentu atau terapi (trauma-healing). Emosi buruk seharusnya dihancurkan di level emosional, jadi dengan emosi lain8. Dari situ, makna (dan motivasi) kemudian bisa diubah secara sungguh-sungguh.
Wajar bahwa manusia yang menghadapi emosi positif yang mendalam, seperti pujian dan kasih, dapat melestarikan makna-makna yang bersangkutan.

3. ‘Rangsangan’ dan makna: semakin frekuentatif semakin kuat
Hal yang ketiga adalah bahwa kekuatan makna yang diberikan oleh kita tidak hanya bergantung pada intensitas tetapi juga pada frekuensi ‘rangsangan-rangsangan’ dari luar. Banyak orang Kristen dibesarkan dengan ide bahwa akhirat adalah hal yang terpenting dalam kehidupan kita, jadi mereka sering menerima ‘rangsangan’ (pembinaan) ini. Sebab itu, ide ini susah diubah karena mantap. Pola pemikiran itu tidak dihapuskan dengan penjelasan formal selama satu kuliah saja. Kita perlu pengulangan dan selain pendidikan formal kita perlu proses pendidikan yang bersifat lebih informal dan sehari-hari9.

4. Proses pemberian makna berhubungan dengan kekuasaan
Studi-studi kognitif juga menyoroti hubungan realitas sosial (politik, ekonomi, dsb.) di luar kita pada satu pihak dan otak kita pada pihak lain. Kita menerima ‘rangsangan-rangsangan’ dari lingkungan sosial, seperti orang Makassar yang menghadapi situasi baru setelah 11 September 2001 dalam contoh yang penulis paparkan di atas.
Lingkungan kita selalu merupakan lingkungan penuh dengan kekuasaan. Kekuasaan politik, kekuasaan agama, ilmu pengetahuan, ideologi negara, ekonomi, kepentingan militer, kepentingan keluarga kita sendiri, dsb. Kekuasaan-kekuasaan yang mana mempengaruhi pertimbangan kita? Apakah kekuasaan-kekuasaan itu bersifat positif atau negatif? Bagaimana menjamin pertimbangan yang baik dalam proses transformasi? Menurut saya pemahaman dari realitas sosial secara lengkap adalah penting.
Selain itu jati diri (moralitas, spiritualitas) kita memainkan peranan penting dalam proses pertimbangan kepentingan. Kalau identitas kita menjadi cukup kuat dan dewasa, maka kita dalam proses pertimbangan kepentingan, tidak menaklukkan diri dengan gampang kepada (atau menggunakan) struktur kekuasaan dengan jalan yang kurang baik.

5. Proses transformasi budaya adalah proses integratif
Semua saling berhubungan satu dengan yang lain, tidak hanya di dalam masyarakat, tetapi juga di dalam otak kita (hal kognitif). Proses transformasi yang efektif adalah proses integratif. Analisis lingkungan sosial-politik dan pengertian proses pemberian makna yang individual harus diperhitungkan bersama dalam proses transformasi.
Satu contoh yang baik adalah ‘Pelatihan Pemberdayaan Untuk Rekonsiliasi’ yang diurus oleh Forlog pada bulan Januari 2002. Pelatihan ini mencerminkan pendekatan integratif itu: peserta-peserta Muslim dan Kristen, yang pernah mengalami kekerasan sendiri, tidak hanya mendiskusikan penyelesaian konflik dari perspektif politik, ekonomi dan agama, tetapi mereka juga berupaya untuk menciptakan suasana baik untuk berbagi pengalaman-pengalaman emosional.   
Proses transformasi bukan soal logis dan intelektual saja. Kita pasti harus menentukan arah transformasi melalui refleksi. Tetapi, kita juga harus memperhitungkan proses (tahap-tahap) transformasi: apakah halangan di level individual/emosional dan apakah halangan di level kekuasaan lokal, nasional dan internasional dan bagaimana mengatasi halangan itu.

Penutup
Bagaimana mentransformasikan budaya? Penting untuk memahami proses pemberian makna yang dilakukan oleh kita sebagai orang multikultural. Hal itu penting, karena makna menyebabkan motivasi dan tingkah laku. Bagaimana kita dapat mempengaruhi proses itu secara positif? Bagaimana kita dapat mempengaruhi proses pertimbangan kepentingan supaya kualitas pilihan kepentingan menjadi lebih baik (yang berhubungan dengan moralitas teguh, kesetiaan, keadilan, dsb.)? Ada dua hal yang penulis disoroti di sini. Yang pertama berhubungan dengan dimensi kognitif, dan yang kedua berhubungan dengan dimensi sosial-politik.
Pentingnya penguatan emosional dalam proses pemberian makna
Kita melihat di atas bahwa makna dan emosi yang buruk (kekecewaan, kekerasan, penghinaan) harus ‘diluarkan’, supaya makna dan emosi yang baru menjadi lebih mantap. Misalnya, kita diberi kesempatan untuk mendiskusikan, mempertanyakan atau mengekspresikan secara non-verbal makna dan emosi yang buruk. Bukan satu kali saja, tetapi berulang-ulang kali. Pada waktu yang sama, kita menyadari bahwa makna dan emosi yang baik (misalnya yang berhubungan dengan lingkungan keluarga, agama atau adat-istiadat kita) harus dilestarikan (direproduksikan), supaya jati diri kita tidak pudar. 
Hal ketiga, kita harus menyadari bahwa makna yang baru (diperoleh atau diproduksikan melalui pendidikan, lihat di bawah) menjadi lebih mantap kalau digabungkan dengan emosi yang positif. Kita bisa mengandaikan bahwa perubahan kenyataan diwujudkan secara lebih cepat melalui diskusi yang bersemangat dengan kawan-kawan, daripada penghafalan bahan pelajaran karena wajib.
Pentingnya pendidikan dalam proses pemberian makna.
Di sini kita mengacu pada pendidikan dalam arti luas, baik formal maupun non-formal. Itu berarti bahwa pendidikan tidak mencakup sekolah dan universitas saja, tetapi juga kursus-kursus atau pelatihan-pelatihan pemberdayaan yang dilaksanakan oleh NGO, pendidikan di dalam keluarga, diskusi dengan kawan, kesenian edukatif (teater, novel), pembinaan agama, pembinaan oleh petua-petua adat, dsb.
Pembaruan pendidikan perlu, sehingga pendidikan harus berfokus pada :
a.   penyadaran struktur sosial-politik dalam masyarakat kita,
b.   pembentukan sikap kritis dan kemandirian berpendapat,
c.   pembentukan jati diri yang cukup mantap tetapi juga cukup dinamis dan
d.   perubahan kenyataan (aksi).
Pendidikan adalah hak asasi manusia, itu berarti bahwa kita harus berjuang, bahwa semua orang mempunyai akses pada pendidikan yang cukup baik.

Catatan Kaki
1 Misalnya V.Wee, yang memakai konsep itu dalam ceramahnya ‘Centres and Peripheries in Construction of Culturality in Indonesia’ selama International Symposium III, Juli 2002, Denpasar. 
2 Lihat B. Alam, ‘Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan’ dalam Antropologi Indonesia, 1997/98, No. 54.
3 Konsep itu diuraikan oleh P. Bourdieu, ‘Outline of a Theory of Practice’, 1977.
4 P. Berger dan Th. Luckmann, ‘The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge’, 1972. Sebetulnya mereka memakai istilah ‘masyarakat’, tetapi istilah itu memang bisa digantikan dengan istilah kebudayaan. Lihat A.F. Droogers, ‘Cultuur als repertoire: schema’s maken en breken’, 2001.
5 T. Asad, dikutip dalam B. Alam, op cit., hal. 4
6 Konsep ‘kekuasaan’ dan ‘kepentingan’ pada dasarnya adalah netral. Sumber kekuasaan, seperti pengetahuan, bisa dipakai untuk mewujudkan sesuatu baik dan tidak baik (lihat Foucault). Kepentingan bisa menjadi egoistis maupun altruistis.
7 Saya khususnya memakai satu aliran dalam studi-studi kognitif yang disebut connectionism.  Teori ini berasal dari ilmu psikologi dan bermaksud untuk menjelaskan bagaimana kita berpikir dan mempertimbangkan. Konsep connectionism diuraikan –antara lain- oleh C. Strauss dan N. Quinn dalam buku ‘A Cognitive Theory of Cultural Meaning’, 1997. Penerapan dalam konteks Indonesia terbaca dalam makalah Ezra M.Choesin, ‘Connectionism: Alternatif dalam Memahami Dinamika Pengetahuan Lokal dalam Globalisasi’, dipresentasikan pada Simposium Internasional II, Juli 2001, Padang. 
8 A.F. Droogers, op cit.
9 Ezra M. Choesin, op cit., hal. 5.
Kepustakaan

Alam, B.: ‘Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan’ dalam Antropologi Indonesia, 1997/98, No. 54

Berger, P. dan Th. Luckmann: ‘The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge’, 1972

Bourdieu, P.: ‘Outline of a Theory of Practice’, 1977

Choesin, E.M.: ‘Connectionism: Alternatif dalam Memahami Dinamika Pengetahuan Lokal dalam Globalisasi’, makalah  Simposium Internasional II, Juli 2001, Padang

Droogers, A.F.: ‘Cultuur als repertoire: schema’s maken en breken’, 2001

Quinn, N. dan C. Strauss: ‘A Cognitive Theory of Cultural Meaning’, 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar